Karang Bajo- Gubug adat Karang Bajo-Bayan merupakan salah satu kampung tradisional yang terketak di Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, yang masih menjalankan dan menjaga adat istiadat kehidupan asli Suku Sasak-Bayan. Pola permukiman mengelompok dan terbentuk oleh kondisi alam yang berbukit-bukit dan berdasarkan sistem kekerabatan yang kuat dalam kehidupan masyarakatnya. ( Oleh Kertamalip Kepala Desa Karang Bajo ) 04-12-15.
Pola permukiman di kampug adat ini terdapat pembagian wilayah berdasarkan stratifikasi sosial kemasyarakatannya. Adanya awig-awig adat yang mengatur pembentukan pola perumahan sebagai bagian dari pola permukiman di Gubug Adat Karang Bajo-Bayan. Selain itu, kehidupan komunitas adat, khususnya yang tinggal di Gubug Karang Bajo, cukup komunal dan ramah. Rumah adat yang dimilikinya, hanya dibatasi dengan pagar bambu dan memiliki nama tersendiri. Rumah-rumah adat ini ditempati oleh para tokoh pranata adat setempat, seperti kiyai, lebe, pemangku, pembekel dan Mak Lokaq (tetua adat).
Menjelajah setiap sudut Bale Adat Gubug Karangbajo, sungguh sebuah amat mengesankan. Sebab, setiap orang luar yang ingin memasuki kawasan adat ini, harus memenuhi aturan adat yang berlaku. Semua rumah adat tersebut, tanpa jendela dan hanya ada satu pintu. Berlantai tanah, berdindingkan anyaman bambu, dan beratap rumbia/alang-alang. Perabotan rumah yang tampak mencolok, hanya berupa dua amben reyot. Sebuah amben, berkelambu kumal sehingga tidak tampak bagaimana keadaan guling, bantal dan selimutnya.
Tetapi amben yang satunya lagi dibiarkan tak berkelambu, sehingga tampak kasur dan bantalnya yang amat kumal. Selain itu, tidak ada skat-skat pembagi ruangan dalam rumah yang berukuran sekitar 4 x 6 meter itu. Dan bagi pengunjung yang ingin masuk ke rumah adat diharuskan lepas celana panjang dan celana dalam.
Pakaian yang harus dikenakan adalah kain panjang tenunan asli Bayan yang dilapis dengan kain bermotif kotak-kotak. Agar tidak melorot, sabuknya pun rangkap dua. Sabuk dalam untuk kain panjang batik, dan sabuk luar untuk kain hitam kebiruan yang bermotifkan kotak-kotak. Pada kepala dikenakan penutup kepala khusus, yang dikenal dengan nama “sapuk” atau jong. Di kawasan bale atau kampu gubug Karang Bajo, dikelilingi pagar anyaman bambu setinggi kurang lebih 3 hingga 4 meter. Ada undak-undakan batu (tangga terbuat dari batu-red) di depan pintu masuk kawasan dalam itu.
Jika berada di kawasan dalam, sandal harus dilepas. Dalam komplek kampu terdapat beberapa bangunan seperti, Bruga Agung, Bruga Malang, Balai Pedangan, Balai Temboroka, dan beberapa bangunan adat lainnya. Khusus untuk Brugaq Agung, diperuntukkan sebagai tempat musyawarah atau memutuskan perkara.
Bruga Agung sendiri, berupa bangunan berbentuk panggung. Siapapun yang naik ke tempat ini, konon harus memiliki niat yang suci. Duduk pun tidak boleh sembarangan. Di antaranya, tidak boleh duduk dengan posisi kaki menggantung di tepi balai-balai dan harus duduk dengan bersila.
Rumah adat tradisional kampu Karang Bajo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bagian luar adalah pagar keliling yang terbuat dari bambu. Dan ditengah pagar keliling terdapat sebuah pintu gerbang berkuran sekitar 2 meter. Ketika masuk dari pintu ini terdapat dua buah berugak angung sebagai tempat bermusyawarah bagi para tokoh adat 4 kepembekelan Karang Bajo. Didekat berugak agung ada sebuah bangunan rumah adat yang berukuran sekitar 4X4 meter yang disebut sebagai rumah pedangan tempat acara periapan ritual adat bagi perempuan.
Sementara disebelah timur yang berhadapan dengan rumah pedangan adalah rumah Amaq Lokaq Gantungan rombong yang berukuran 8X8 meter. Dan didepan rumah ini ada bangunan berugaq saka enam sebagai tempat menerima tamu atau keluarga yang berkunjung ke rumah adat Amaq Lokaq Gantungan Rombong.
Setiap rumah adat tradisional Karang Bajo terdiri dari beberapa bagian yaitu inan rumah (induk), amben beleq (berugak besar saka empat) yang bentuk bangunannya bertingkat dan harus menggunakan tangga bila naik, kemudian amben beriq (kecil) 3 buah ditambah dengan amben tempat menaruh perlengkapan masak dan amben tempat tidur. Dan semua rumah adat tanpa ventilasi, karena menggunakan dinding pagar bedeg yang rakitannya jarang, sehingga angin dapat keluar masuk dari celah-celah dinding tersebut.
Bahan bangunan rumah adat trandisional rata-rata menggunakan kayu sebagai tiangnya, bambu, alang-alang untuk atap dan tali dari rotan untuk mengikat atapnya. Sementara lantainya dari tanah. Bangunan rumah adat mampu bertahan 20-30 tahun. Dan yang paling sering mengalami kerusakan adalah atapnya. Sedangkan peralatan yang ada di setiap rumah adat terdiri dari, periuk, cerek, terbuat dari tanah, piring cawan, mangkok dan tabak dan penginang/pabuan yang terbuat dari kayu. Alat penerang yang digunakan dalam rumah adat adalah lampu jojor (lilit) yang terbuat dari jarak dan kapas yang dilitkan pada kayu. Dan bagi yang menempati rumah adat harus memasak menggunakan kayu pada tungku batu, dan tidak boleh menggunakan kompor gas atau minyak tanah.
Rumah adat dalam kampu biasanya direnovasi pada saat adanya pergantian pemangku Amaq Lokaq Gantungan Rombong yang dpilih sekali dalam tiga tahun. Dan jika Amaq Lokaq dinilai masih mampu menjabat, maka para tokoh adat tinggal menetapkan dan melantiknya sebagai pemangku.
Setiap perbaikan rumah adat dilakukan secara gotong royong yang dikordinir oleh para tokoh adat dan pengurus LPA Gubug Karang Bajo-Bayan. Sedangkan rumah dinas adat yang tidak terawatt di Karang Bajo adalah rumah dinas Amaq Lokak Penyunat dan Amaq Lokaq Penyunat, karena tidak ada prusa (keturunan) yang menempati rumah tersebut.
Rumah adat tradisional tetap dirawat, karena sebagai tempat tinggal para pemangku dan Amaq Lokaq serta tempat prosesi ritual adat untuk mempertahankan adat dan budaya peninggalan leluhur sekaligus melindungi situs budaya yang ada. Selain itu, tujuannya juga, agar prusa (keturunan) para pemangku tidak putung (putus). Rumah adat juga tempat berkumpulnya masyarakat adat pada saat prosesi ritual adat, karena masing-masing perusa atau garis keturunan akan mencari prusanya sendiri pada saat pelaksanaan adat. Dan cara merawat rumah adat agar tetap bertahan adalag mengganti bahan bangunan yang rusak.
Satu hal yang cukup misteri, bahwa masing-masing rumah adat yang ditempati oleh para tokoh setempat yang dibatasi dengan pagar bambu (kampu) memiliki nama tersendiri, seperti Karang Selam sebagai tempat tinggalnya Mak Lokak Penyunat atau juru khitan. Dan dalam pendapat komunitas adat, bila seorang anak belum dikhitan maka dia belum termasuk Selam (beragama Islam-red). Dan jika sudah dikhitan, maka anak tersebut dikenal dengan “selam sunat”.
Sementara rumah kampu di Karang Haji ditempati oleh Kiyai Lebe. Dan khusus tempat tinggalnya para pemangku (pemerintahan adat-red) berada di Karang Dalem. Sedangkan di Karang Tulis, sebagai tempat tinggal Pembekel adat yang berdampingan dengan Mak Lokak Singgan yang istilah sekarang sebagai panglima atau laskar.
Mak Lokak Penguban yang bertugas membawa payung agung pada acara ritual praja mulud adat dan berfungsi memayungi umat, tinggal di Karang Tuban. Dan yang terpisah tempat tinggalnya dari kebanyakan Mak Lokak tersebut adalah Lokak Walin Gumi yang bertugas sebagai pemimpin acara bangaran pada pembukaan lahan baru atau membangun tempat tinggal. Selain fungsi tersebut, Lokak Walin Gumi juga bertugas sebagai wali hakim bila wali si perempuan tidak ada, yang istilah Bayannya keturunan yang putung (putus).
Selain Mak lokak yang tersebut diatas, masih ada lagi Mak Lokak lainnya, seperti Lokak Pandai yang bertugas sebagai penasehat dan pengambil keputusan bila terjadi perselisihan pendapat antar komunitas adat yang dibantu oleh Lokak Walin Gumi.
Di masyarakat adat juga dikenal adanya yang bertugas membuat ramuan obat atau berfungsi sebagai tabib. Dan peran ini dipegang oleh Mak Lokak Penejelang, yang pekarangan rumahnya masih kosong dan hanya ditandai dengan sebuah batu. Dan masih banyak lagi Mak Lokak lainnya yang fungsinya berbeda-beda, seperti Mak Lokak Gantusan Rombong, Lokak Bual, Lokak Pengauban, lokak inan aik dan lain-lainnya.
Perlu diketahui, bahwa sejak seseorang dipercaya mengemban sebuah jabatan, maka sejak itu pula dalam pergaulan sehari-hari nama pejabat yang bersangkutan hilang dari sebutan. Tetapi, jabatan yang disandang menjadi sapaan. Misalnya Pak Anu menyandang jabatan Lokak Pande, maka dalam pergaulan sehari-hari sebutannya bukan Pak Anu, tetapi cukup Lokak Pande. ( dkb-01).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar